Sabtu, 26 Maret 2016

Puisi santri: Tumpuan kehidupan




Perlahan kumulai terlelap kembali menapaki mimpi

Mimpi yang menawarkan kenyamanan

Namun sayang itu hanyalah khayalan

Titian berat tumpuan kehidupan

Menjepitku lalu perlahan mematikanku

                Aku tak berdaya

                Semua luka telah binasa

                Canda dan tawa hanya omong kosong semata

                Yang ada hanya siksa yang mengekang dada

Ingin kutertawakan

Betapa bodohnya jalan hidupku

Ingin kumenjerit

Betapa siksa ini menyakitiku

Namun sayang ini semua adalah alur kehidupanku

                Aku tak berdaya aku tak berharga

                Kuharapkan secerca lentera

                Yang akan kutemukan diujung kegelapan

                Lalu perlahan dia lukiskan kehangatan

                Tapi, apakah itu semua akan menjadi nyata ?

                Sungguh kutak percaya

NU: peran dalam membangun Jepara




        Seluk beluk kehidupan dikota Jepara tak dapat dipungkiri bahwa selama ini agama menjadi salah satu elemen penting dalam memajukan kota ini. Jepara yang telah berdiri selama lebih dari 6 abad ini telah melakukan berbagai perubahan keberbagai dekade dengan berpegang teguh pada agama dan kesatuan keyakinan sebagai tonggaknya. Meyakini bahwa suatu perkara hanya akan mampu terjadi dengan adanya kehendak dari Tuhan. Apalagi mayoritas agama dikota Jepara ini adalah agama islam yang mengakui sepenuhnya bahwa Tuhan itu Esa.
         Sesuai dengan pedoman masyarakat Jepara (sesanti) yang berbunyi “Trus Karya Tataning Bumi” jelas sekali menggambarkan bahwa kota Jepara berdiri untuk terus berkarya membangun bumi serta kekayaan alam potensial yang ada di kota Jepara. Namun diakui atau tidak, kemajuan yang dialami kota Jepara tidak bisa lepas dari peran agama islam serta ormas-ormasnya. Banyaknya kegiatan sosial keagamaan yang telah dilaksanakan parapenegak agama untuk memberikan wawasan lebih terhadap masyarakat menjadi pendorong secara tidak langsung perkembangan agama dan kegiatan di Jepara. Apalagi ormas islam yang paling mendominasi Jepara adalah NU (Nahdhotul ULama’). Ormas islam yang sangat menghargai ketetapan pemerintah.
        Semenjak NU berdiri diJepara, NU turut andil dalam membangun kota Jepara melalui bekal moral yang diasah dan dikembangkan oleh tuntunan agama. Dan dengan adanya penanaman moral yang diterapkan kepada warga Jepara, sedikit demi sedikit warga Jepara mampu melihat kancah kehidupan dari segi positif dalam menghadari problematika kehidupan. Jepara mulai berkembang seiring dengan perkembangan NU dikota ukir. Dibuktikan dengan berdirinya UNISNU baru-baru ini.  Universitas islam pertama dikota Jepara yang berlandaskan asas Nahdhotul Ulama’. Mencerdaskan generasi muda Jepara sekaligus menanamkan budi pekrti luhur yang menghormati budaya bangsa tanpa melakukan sistem diskriminasi terhadap pihak non-mayoritas. Perilaku yang telah dicontohkan sejak zaman Nabi Muhammad, perilaku beliau saat  memimpin kota Madinah. Meskipun agama di Madinah mayoritas islam, tapi Rasulullah tetap menghormati warganya yang beragama Yahudi dan Nasrani. Tidak lantas menghukum dan membnuh orang kafir selama mereka bersedia saling menghargai terhadap umat islam.
          Perjuangan NU dalam membangun Jepara meliputi berbagai bidang kehidupan yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.Dalam bidang pendidikan, NU telah melakukan banyak pengembangan. Terbukti bahwa NU semakin banyak melakukan pembangunan madrasah diniyah, TPQ, serta pondok pesantren. Bahkan, NU sudah banyak tersebar di sekolah- sekolah islam dan swasta  Agar para generasi penerus NU cerdas dalam hal keagamaan. Warga NU pun banyak    melakukan pengembangan dan penelitian guna meningkatkan kualitas pendidikan islam serta memecahkan problematika kehidupan agama dengan melukan ijma', qiyas serta mukhtamar.
2.Dalam bidang dakwah, warga NU jelas dilakukan melalui rutinitas tahunan seperti rolasan, maulid nabi, dan penagajian. Sebagai langkah dalam melanjutkan perjuangan rasulullah untuk menyampaikan syari'ah islam secara luas.
3.Dalam bidang sosial budaya, NU melakukan hubungan harmonis antar sesama. Tak pernah membedakan antar budaya lain, serta mempertahankan buadaya lama yang masih baik tanpa meninggalkan budaya baru yang juga baik. NU mempertahankan moral asli warga Jepara agar tiadak bertentangan dengan ilmu agama. Seperti semboyannya yang berbunyi"Al-muhafadhotu alal qodhimis Sholihi, wal ahdu bil jadidil aslahi" yang artinya "mempertahankan budaya lama yang masih baik, dan mengambil budaya baru yang lebih baik".
         NU menaungi berbagai jenjang pendidikan islam di Jepara. Seperti sekolah madrasah, sekolah diniyah, TPQ, sampai pondok pesantren dengan memprioritaskan landasan agama. Apresiasi yang sangat sesuai dilakukan, mengingat kota Jepara hampir bisa disebut sebagai kota santri. Setidaknya, karakter warga Jepara dipertahankan NU melalui dedikasi religi yang tepat. Mungkin suatu ketika ormas NU dapat memberikan kemajuan terhadap pendidikan non formal dengan bekerja sama dengan Negara agar bukan hanya siswa dengan jenjang pendidikan yang tinggi saja yang mampu bersaing dengan dunia luar, namun santri yang hanya berbekal pendidikan agama yang tinggipun dapat bersaing dengan dunia luar, atau ijazah kelulusannya dapat digunakn untuk bersaing dengan sekolah formal. Karna banyak santri yang berkecil hati bahwa ilmu yang didapatkannya selama ini tak akan menjamin masa depannya,melainkan hanya mampu menjadi bekal pribadi saja meski berapa banyakpun ilmu yang dimilikinya. menyadari bahwa jenjang yang dipilih bukanlah jenjang formal seperti sekolahan. Padahal tidak selamanya santri itu tak mengenal teknologi. Sudah banyak pesantren berbasis modern yang dikembangkan oleh pengasuhnya. Yang mengajarkan agama sekaligus teknologi terhadap santri santrinya. Bahkan tak jarang pula bahwa santri lebih cerdas dari orang luar mengenai segala bidang.
        Maka jelaslah sudah bahwa Jepara berjalan beriringan dengan NU dalam memajuaknn berbagai kehidupan di Jepara, meskipun NU tak lagi terjun secara langsung dalam bidang politik, tapi NU mendukung penuh setiap keputusan Negara asalkan tak melanggar norma agama. Bahkan NU selalu mengajarkan umatnya untuk selalu patuh terhadap setiap keputusan pemerintah. NU tak pernah bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku di Indonesia. Maka,NU ada untuk membangun bangsa dan Negara.


    

SMK KHOLILIYAH BANGSRI: SEKOLAH SANTRI



SMK Kholiliyah diambil dari nama seorang tokoh Kyai yang sangat berpengaruh di daerah metropolitan Bangsri, “KH. Kholil Hamid Al-Hamil” (1921-1996) ayahanda dari ibu Hj. Muyassaroh yang kini menjadi pendamping hidup dari KH. Ma’arif Asrori Al-Hamil yang sampai saat ini tidak henti-hentinya membimbing dan membina yayasan pendidikan Kholiliyah. Sekolah ini mulai berdiri pada tahun 2010 sebagai jenjang lanjutan dari lulusan SMP IT Kholiliyah Bangsri, memberikan peluang bagi siswa yang kurang mampu meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. faktor yang mempengaruhi siswa lulusan tidak dapat meneruskan sekolahnya yang diantaranya yaitu biaya sekolah yang semakin melambung tinggi, jarak sekolah yang jauh dari tempat tinggal, dan kurangnya pemahaman orang tua terhadap pentingnya pendidikan bagi anak.
Dari permasalahan yang timbul tersebut, muncullah pemikiran pengasuh Ponpes Darut Ta’lim untuk mendirikan yayasan Kholiliyah untuk mendirikan sekolah yang mengutamakan keahlian, keterampilan, dan ilmu agama sebagai bekal untuk menghadapi persaingan di dunia luar. Maka, dibangunlah SMK Kholiliyah dengan program kejuruan yang semula hanya Administrasi Perkantoran (AP) untuk mempersiapkan siswanya pandai dalam mengolah perusahaan dan managemen. Lalu seiring berjalannya waktu, pada awal angkatan ke-4, muncul gagasan baru untuk mengembangakan sekolah dengan mendirikan kejuruan baru yaitu Busana Butik (BB) yang bergerak di bidang fashion. Yang berarti kejuruan BB mulai digerakkan setelah adanya lulusan pertama SMK Kholiliyah Bangsri.
SMK Kholiliyah mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang pembangunan, pendidikan ,  kelengkapan sarana dan prasarana, serta keunggulan ekstra maupun intra. Dibuktikan dengan banyaknya  Pembangunan gedung sekolah dilakukan secara kontinu, sehingga kini gedung SMK Kholiliyah sudah memenuhi syarat kelengkapan sekolah. Lalu dalam bidang pendidikan, Kholiliyah tidak hanya mengampu pelajaran kejuruan dan umum, melainkan banyak pelajaran agama seperti tafsir yasin yang setiap kenaikan kelas wajib menyetorkan hafalan surat yasinnya sebagai syarat kenaikan kelas. Adapula pelajaran tahfidz menghafal Al qur’an beserta ma’nanya dan pelajaran lain seperti tauhid, fiqih salafi dan masih banyak lagi. meskipun SMK Kholiliyah adalah sekolah kejuruan, tapi SMK Kholiliyah memiliki keunggulan dalam bidang keagamaan. Sehingga, materi seimbang untuk dikelola dalam lingkup formal maupun non-formal. Begitu pula dengan adanya internet dan alat modern lainnya yang mampu menunjang keberhasilan pendidikan untuk mencapai tujuan.
“Kita memang beridentitas pelajar, tapi kita pelajar ala santri. Karna ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah hampa”, tegas bapak kepala sekolah SMK Kholiliyah. Dan sekolah yang bernaung dibawah ma’had pesantren ini menegaskan siswa-siswanya untuk perpenampilan dan berperilaku selayaknya santri, meskipun tidak semua siswa SMK Kholiliyah adalah santri. Karena pengasuh pesantren Darut Ta’lim tak pernah memaksa seseorang yang asalkan mau belajar. Meskipun sekolah ini berbasis umum, tapi cara pergaulan harus dijaga oleh seluruh siwanya, Menjaga moral yang baik sehingga tertanam kepribadian yang baik pula. Kini, seluruh siswa SMK kholiliyah menjadi sekolah kejuruan yang berbasis pesantren. Mengenal ilmu modernitas tanpa melupakan bekal ilmu- ilmu agama. Karna SMK Kholiliyah adalah sekolah santri.

Korelasi antara sistem kepengurusan pondok pesantren dengan sistem Aristokrasi Aristoteles




Pesantren Darut Ta’lim adalah salah satu pesantren yang mengadopsi ideology salaf untuk dijadikan sebagai landasan beramal dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari para santrinya. Terlepas dari kenyataan yang saat ini ada, ideology salafi masih diharapkan mampu menjadi solusi moral para santri di tengah-tengah pergolakan teknologi dan globalisasi yang sering kali mereduksi nilai-nilai keluhuran adat ketimuran (yang katanya) masih dianut oleh Bangsa Indonesia.
Di samping ideology salaf yang menjadi landasan beramal, dalam menjalankan kepengurusan, Darut Ta’lim dipimpin oleh seorang ketua yang membawahi beberapa departemen. Departemen-departemen tersebut mengurusi bidang mereka masing-masing seperti departemen kebersihan, departemen kesehatan, departemen pendidikan dan departemen keamanan. Dalam Hukum Tata Negara model seperti itu disebut lembaga eksekutif.
Di Darut Ta’lim sendiri tidak mengenal yang namanya legislative bahkan yudikatif seperti halnya system trias politika ajaran montesque yang dianut oleh beberapa Negara termasuk Indonesia. Ajaran trias politica membagi kekuasaan menjadi tiga lembaga seperti di atas. Eksekutif –atau yang sering disebut pemerintah (dalam arti sempit)- adalah lembaga yang berhak mengambil kebijakan  yang tentunya tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Legislative, yang diisi oleh MPR dan DPR, bertugas merancang Undang-Undang untuk kemudian mengesahkannya. Dan kemudian Yudikatif yang bergerak dalam ranah peradilan tertinggi yang dapat mengadili setiap kasus yang tidak mampu diputuskan  oleh pengadilan di tingkat bawah.
Dibaginya kekuasaan menjadi tiga lembaga tersebut dimaksudkan agar menjamin demokrasi dan membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Sementara itu, di Darut Ta’lim hanya menggunakan system kekuasaan tunggal, yakni eksekutif. Prakteknya adalah setiap kebijakan yang ada –selain dari pengasuh sebagai tokoh sentral- misalnya “pukul 21.00 setiap santri diwajibkan ngaji al-Quran kepada penyemak yang sudah ditentukan” atau “setiap jumat pagi setelah mudarosah setiap santri wajib mengikuti kegiatan ziarah kubur bersama”, diputuskan dan ditetapkan oleh eksekutif. Begitu juga dengan adanya legislasi (undang-undang) yang biasanya dirumuskan pada awal tahun. Substansi aturan seperti “satiap santri yang mencuri maka harus digundul” atau “santri yang pulang tanpa ijin harus membayar denda sebesar Rp.1000,-“ juga dirumuskan oleh pengusur yang sama, yakni eksekutif pmpinan ketua pengurus. Begitu juga dalam menjalankan peradilan. Pengurus pula yang mengadili dan menjalankan proses persidangan yang dalam Tata Negara, tugas semacam ini dipegang oleh Yudikatif.
Namun, bukan berarti trias politica ini tanpa kelemahan. Pembagian kekuasaan semacam ini sering menimbulkan kebingungan tentang “sebenarnya siapa di  Negara ini yang berkuasa?”. Sering terjadi tarik menarik antara pemerintah dan DPR. Mereka saling mengklaim bahwa mereka memiliki hak dalam urusan membuat aturan. Sehingga sering pula terjadi pergesekan bahkan benturan kebijakan dari kedua lembaga ini. Dalam kondisi semacam itu mungkin perlu satu solusi agar benturan aturan tidak terjadi lagi.

Demokrasi dan aristokrasi ala aristoteles

Demokrasi –yang selama ini dianut beberapa Negara- telah banyak dieluh-eluhkan karena dianggap ia lah sistem pemerintahan yang terbaik. Dengan menggunakan prinsip-prinsip seperti keterbukaan, transparan, musyawarah mufakat dan sebagainya, demokrasi dinilai dapat mewakili suara rakyat sebab, menurut Abraham Lincoln, Democrasi is the government of the people, by the people and for the people. Dengan demikian yang menjadi pemegang dan penentu kebijakan adalah setiap lapisan masyarakat baik dari kalangan atas, menengah sampai pada yang paing bawah. Pemerintah –terlebih dalam arti luas- hanya menjadi wakil dan pelaksana kehendak rakyat, bukan penentu kebijakan.
Akan tetapi kondisi seperti itu dibaca oleh Aristoteles sebagai suatu sistem yang fatal. Hingga Ia menganggap Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling buruk. Mengapa demikian? Sebab rakyat tidak semuanya cerdas, tidak semua mempunyai tujuan yang sama apalagi jika sudah berbenturan dengan kepentingan masing-masing, sulit sekali, bahkan dapat dikatakan mustahil keinginan mereka dapat disatukan. Para pengusaha besar pasti ingin membangun mall-mall yang megah sementara rakyat miskin juga menginginkan tempat tinggal mereka tidak digusur. Begitu juga dengan orang-orang berkepentingan yang lain. Apalagi ketika lembaga eksekutif harus menghadapi legeslatif sebagai kekuatan oposisi besar seperti yang sekarang dihadapi oleh Jokowi –JK. Hal tersebut pasti menambah kebingungan karna rakyat akan dibuat pusing dengan pertanyaan “siapa lembaga tertinggi di Indonesia ini?”
Namun, Aristoteles memberi sebuah solusi dengan sistem pemerintahan bernama Aristokrasi. Sistem ini mengajarkan bahwa suatu Negara harus dipimpin oleh seorang filosof  (orang yang benar-benar bijak) yang dipilih oleh lembaga yang berwenang yang nantinya menjadi pejabat tertinggi di Negara tersebut.
Kondisi ini sangat mirip dengan isitem kepengurusan Darut Ta’lim dimana seorang ketua dipilih oleh pengasuh sebab Ia diyakini memiliki kredibilitas yang tinggi. Begitu juga dengan kesamaan bahwa tidak ada dewan legeslatif yang bertugas membuat UU sendiri dan tidak pula dewan yudikatif yang bertindak sebagai hakim. Baik kebijaksanaan, Undang-Undang dan peradian dijalankan oleh satu kepengurusan. Sistem semacam ini –menurut penulis- sudah sangat pas jika diterapkan di Darut Ta’lim yang tentunya dalam mengambil kebijakan, seorang ketua harus betul-betul mengerti seluk-beluk permasalahan yang terjadi di pesantren seperti seorang Aristokrat yang ditawarkan olh Aristoteles.
Dengan demikian, segenap pengurus Darut Ta’lim haruslah bangga karena sistem yang mereka jalani sekarang mirip dengan konsep Aristokrasi yang sangat digemari oleh filosof terbesar sepanjang masa, Aristoteles.



Iga Kurniawan

Jumat, 25 Maret 2016

Imam Ibnu Ajjurum pengarang kitab "Jurumiyah"



Siapa yang tidak kenal kitab Al Ajurumiyah? Setiap penuntut ilmu syar’i pasti mengenal kitab ini. kitab kecil yang menjadi pegangan ilmu nahwu bagi para pemula. Banyak dari para penuntut ilmu memulai pelajaran bahasa Arabnya melalui kitab ini. Tidak hanya itu, banyak juga di antara mereka yang menghafalnya.Siapakah pengarang  kitab yang sangat masyhur ini?  Mari kita simak biografi ringkas beliau.

Nama dan nisbah beliau

Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Dawud Ash Shinhaji (kadang disebut Ash Shonhaji), yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Ajurum. Nisbah beliau Ash Shinhaji, merupakan nisbah kepada qabilah Shinhajah di daerah Maghrib. Beliau dikenal dengan nama Ibnu Ajurum. Ajurum artinya orang yang fakir dan seorang shufi.
Kelahiran Beliau
Ibnu Ajurum dilahirkan di kota Fas, sebuah daerah yang besar di Negeri Maghrib pada tahun 672 H. Pada tahun itu pula seorang pakar nahwu yang terkenal yaitu pengarang Kitab Alfiyah yang bernama Ibnu Malik –rahimahullah- meninggal dunia.
Wafat Beliau
Ibnu Ajurum rahimahullah wafat di Kota Fas pada hari Senin, tanggal 10 Safar 723 H.
Perjalanan Beliau Menimba Ilmu
Awalnya, Ibnu Ajurum belajar di kota Fas, kemudian beliau berangkat haji ke kota Makkah. Ketika melewati Kairo, beliau belajar nahwu kepada Abu Hayyan, salah seorang pakar nahwu negeri Andalusia, penyusun Kitab Al Bahrul Muhith, sampai beliau mendapatkan ijazah (rekomendasi) dari Abu Hayyan.
Penyusunan Matan Al Ajurumiyah
Ibnu Ajurum menyusun matan Al Ajurumiyah pada tahun 719 H, empat tahun sebelum beliau wafat. Ibnu Maktum yang sezaman dengan Ibnu Ajurum –setelah memuji Ibnu Ajurum- menyebutkan di dalam Tadzkirahnya bahwa pada saat dia menulis tadzkirah tersebut, Ibnu Ajurum masih hidup.
Ar Ra’i dan Ibnul Haj menyebutkan bahwa Ibnu Ajurum menulis kitab ini di hadapan Ka’bah. Dan ditambahkan oleh Al Hamidi bahwa setelah menulis kitab ini, Ibnu Ajurum membuang kitabnya ke laut sambil berkata, “Kalau memang kitab ini kutulis ikhlas karena Allah, maka niscaya kitab ini tidak akan basah.” Ternyata kitab Al Ajurumiyah yang beliau tulis tidak basah. Sehingga walaupun kitab ini tipis dan ditujukan bagi pemula, namun karya tulis beliau ini diterima oleh semua kalangan.
Madzhab Ibnu Ajurum dalam Penyusunan Kitab
Dalam menyusun kitab ini, Ibnu Ajurum mengikuti madzhab Kufah. Di antara bukti-buktinya adalah:
1. Beliau menyebut kasrah atau yang menggantikannya dengan khafd (خفض). Adapun pengikut madzhab Basrah menyebutnya dengan jar (جر).
2. Beliau berpendapat bahwa fi’il amr itu di-jazm-kan. Ini adalah pendapat madzhab Kufah. Adapun ahlu Bashrah berpendapat bahwa fi’il amr itu mabni ‘ala sukun.
3. Beliau mengganggap kaifama (كيفما) termasuk jawazim (alat yang menjazmkan fi’il mudhari’) sebagaimana pendapat Ahlu Kufah. Adapun ahlu Bashrah menolak kaifama sebagai jawazim.
4. Ibnu Ajurum menyatakan bahwa di antara tanda isim adalah menerima alif dan lam (الأليف واللام). Ini adalah pendapat ulama nahwu Kufah. Adapun ahlu Bashrah menggunakan istilah “al” (ال).
5. Beliau menyebutkan istilah asmaul khomsah (الأسماء الخمسة)  yang terdiri dari
ذو مال
فوك
حموك
أخوك
أبوك
Adapun ahli nahwu Bashrah menyebutnya dengan (الأسماء الستة) dengan menambahkan هنوك.
Ini sebagian bukti yang menunjukkan bahwa Ibnu Ajurum menganut madzhab Kufah.
Beberapa Syarah (Penjelasan) terhadap Kitab Al Ajurumiyah
Ada banyak ulama yang mensyarah Kitab Al Ajurumiyah baik dari kalangan ulama terdahulu maupun ulama di masa kita. Di antara ulama terdahulu adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad Al Maliki yang dikenal dengan Ar Ra’i (wafat 853 H). Beliau menulis syarah beliau yang berjudul (المستقل بالمفهوم في شرح ألفاظ الللآجرمية)
Adapun syarah yang ditulis oleh ulama muta’akhirin (ulama di masa belakangan ini) antara lain:
1. (التحفة السانية بشرح المقدمة الآجرمية) karya Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid
2. (        شرح المقدمة الآجرمي) karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Wallahu a’lam bisshawwab
Sumber:
- Dars Al Ajurumiyah bersama Al Ustadz Agus Suaidi hafizhahullah
- At Ta’liqaat Al Jaliiyah  ‘ala Syarh Muqaddimah Al Ajurumiyah, Abu Anas Asyraf bin Yusuf bin Hasan, Darul Aqidah, Kairo.
Ditulis oleh Abu Umar Al Bankawy di Sidayu, Gresik. Selesai penulisannya tanggal 13 Dzulhijjah 1430 H.
….
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Daud ash-Shonhaji, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Ajurum. Nisbah beliau ash-Shonhaji, merupakan nisbah kepada qabilah Shinhajah di daerah Maghrib. Beliau dikenal dengan nama Ibnu Ajurum. Ajurum artinya orang yang fakir dan seorang shufi. 


Kelahiran Beliau

    Ibnu Ajurum rahimahullah dilahirkan di kota Fas, sebuah daerah yang besar di Negeri Maghrib pada tahun 672 H. Pada tahun itu pula seorang pakar nahwu yang terkenal yaitu pengarang Kitab Alfiyah yang bernama Ibnu Malik rahimahullah  meninggal dunia. 


Wafat Beliau

     Ibnu Ajurum rahimahullah wafat di Kota Fas pada hari Senin, tanggal 10 Shafar 723 H. 

 

Perjalanan Beliau dalam Menimba Ilmu

    Awalnya, Ibnu Ajurum rahimahullah belajar di kota Fas, kemudian beliau berangkat haji ke kota Makkah. Ketika melewati Kairo, beliau belajar nahwu kepada Abu Hayyan, salah seorang pakar nahwu Negeri Andalusia, penyusun Kitab al-Bahr al-Muhith, sampai beliau mendapatkan ijazah (rekomendasi) dari Abu Hayyan. 


Penyusunan Matan al-Ajurumiyah

     Ibnu Ajurum menyusun Matan al-Ajurumiyah pada tahun 719 H, empat tahun sebelum beliau wafat. Ibnu Maktum yang sezaman dengan Ibnu Ajurum (setelah memuji Ibnu Ajurum) menyebutkan di dalamTadzkirahnya bahwa pada saat dia menulis Tadzkirah tersebut, Ibnu Ajurum masih hidup. Ar-Ra’i dan Ibn al-Haj menyebutkan bahwa Ibnu Ajurum menulis kitab ini di hadapan Ka’bah. tatkala telah rampung menulis sebuah buku tentang kaidah nahwu yang ditulisnya dengan menggunakan sebuah tinta, beliau mempunyai azam untuk meletakkan karyanya tersebut di dalam air. Dengan segala sifat kewara’annya dan ketawakkalannya yang tinggi, beliau berkata dalam dirinya:

“Ya Allah jika saja karyaku ini akan bermanfaat, maka jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak luntur di dalam air”

    Ajaib, ternyata tinta yang tertulis pada lembaran kertas tidak luntur. Dalam riwayat lain disebutkan, ketika
beliau merampungkan karya tulisnya tersebut, beliau berazam akan menenggelamkan tulisannya tersebut dalam air mengalir, dan jika kitab itu terbawa arus air berarti karya itu kurang bermanfaat. Namun bila ia tahan terhadap arus air, maka berarti ia akan tetap bertahan dikaji orang dan bermanfaat. Sambil meletakkan kitab itu pada air mengalir, beliau berkata : “Juruu Miyaah” (mengalirlah wahai air!). Anehnya, setelah kitab itu diletakkan pada air mengalir, kitab yang baru ditulis itu tetap pada tempatnya. 
    Maka dari situlah, matan jurumiyah ini  mulai tersebar dan bertahan hingga saat ini. Karna matan kecil nan sederhana tersebut telah mendapatkan ridho dari Allah, sehingga ilmu yang ingin disampaikan oleh Imam Ibnu Ajjurum ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mendalaminya.