Sabtu, 26 Maret 2016

Korelasi antara sistem kepengurusan pondok pesantren dengan sistem Aristokrasi Aristoteles




Pesantren Darut Ta’lim adalah salah satu pesantren yang mengadopsi ideology salaf untuk dijadikan sebagai landasan beramal dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari para santrinya. Terlepas dari kenyataan yang saat ini ada, ideology salafi masih diharapkan mampu menjadi solusi moral para santri di tengah-tengah pergolakan teknologi dan globalisasi yang sering kali mereduksi nilai-nilai keluhuran adat ketimuran (yang katanya) masih dianut oleh Bangsa Indonesia.
Di samping ideology salaf yang menjadi landasan beramal, dalam menjalankan kepengurusan, Darut Ta’lim dipimpin oleh seorang ketua yang membawahi beberapa departemen. Departemen-departemen tersebut mengurusi bidang mereka masing-masing seperti departemen kebersihan, departemen kesehatan, departemen pendidikan dan departemen keamanan. Dalam Hukum Tata Negara model seperti itu disebut lembaga eksekutif.
Di Darut Ta’lim sendiri tidak mengenal yang namanya legislative bahkan yudikatif seperti halnya system trias politika ajaran montesque yang dianut oleh beberapa Negara termasuk Indonesia. Ajaran trias politica membagi kekuasaan menjadi tiga lembaga seperti di atas. Eksekutif –atau yang sering disebut pemerintah (dalam arti sempit)- adalah lembaga yang berhak mengambil kebijakan  yang tentunya tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Legislative, yang diisi oleh MPR dan DPR, bertugas merancang Undang-Undang untuk kemudian mengesahkannya. Dan kemudian Yudikatif yang bergerak dalam ranah peradilan tertinggi yang dapat mengadili setiap kasus yang tidak mampu diputuskan  oleh pengadilan di tingkat bawah.
Dibaginya kekuasaan menjadi tiga lembaga tersebut dimaksudkan agar menjamin demokrasi dan membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Sementara itu, di Darut Ta’lim hanya menggunakan system kekuasaan tunggal, yakni eksekutif. Prakteknya adalah setiap kebijakan yang ada –selain dari pengasuh sebagai tokoh sentral- misalnya “pukul 21.00 setiap santri diwajibkan ngaji al-Quran kepada penyemak yang sudah ditentukan” atau “setiap jumat pagi setelah mudarosah setiap santri wajib mengikuti kegiatan ziarah kubur bersama”, diputuskan dan ditetapkan oleh eksekutif. Begitu juga dengan adanya legislasi (undang-undang) yang biasanya dirumuskan pada awal tahun. Substansi aturan seperti “satiap santri yang mencuri maka harus digundul” atau “santri yang pulang tanpa ijin harus membayar denda sebesar Rp.1000,-“ juga dirumuskan oleh pengusur yang sama, yakni eksekutif pmpinan ketua pengurus. Begitu juga dalam menjalankan peradilan. Pengurus pula yang mengadili dan menjalankan proses persidangan yang dalam Tata Negara, tugas semacam ini dipegang oleh Yudikatif.
Namun, bukan berarti trias politica ini tanpa kelemahan. Pembagian kekuasaan semacam ini sering menimbulkan kebingungan tentang “sebenarnya siapa di  Negara ini yang berkuasa?”. Sering terjadi tarik menarik antara pemerintah dan DPR. Mereka saling mengklaim bahwa mereka memiliki hak dalam urusan membuat aturan. Sehingga sering pula terjadi pergesekan bahkan benturan kebijakan dari kedua lembaga ini. Dalam kondisi semacam itu mungkin perlu satu solusi agar benturan aturan tidak terjadi lagi.

Demokrasi dan aristokrasi ala aristoteles

Demokrasi –yang selama ini dianut beberapa Negara- telah banyak dieluh-eluhkan karena dianggap ia lah sistem pemerintahan yang terbaik. Dengan menggunakan prinsip-prinsip seperti keterbukaan, transparan, musyawarah mufakat dan sebagainya, demokrasi dinilai dapat mewakili suara rakyat sebab, menurut Abraham Lincoln, Democrasi is the government of the people, by the people and for the people. Dengan demikian yang menjadi pemegang dan penentu kebijakan adalah setiap lapisan masyarakat baik dari kalangan atas, menengah sampai pada yang paing bawah. Pemerintah –terlebih dalam arti luas- hanya menjadi wakil dan pelaksana kehendak rakyat, bukan penentu kebijakan.
Akan tetapi kondisi seperti itu dibaca oleh Aristoteles sebagai suatu sistem yang fatal. Hingga Ia menganggap Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling buruk. Mengapa demikian? Sebab rakyat tidak semuanya cerdas, tidak semua mempunyai tujuan yang sama apalagi jika sudah berbenturan dengan kepentingan masing-masing, sulit sekali, bahkan dapat dikatakan mustahil keinginan mereka dapat disatukan. Para pengusaha besar pasti ingin membangun mall-mall yang megah sementara rakyat miskin juga menginginkan tempat tinggal mereka tidak digusur. Begitu juga dengan orang-orang berkepentingan yang lain. Apalagi ketika lembaga eksekutif harus menghadapi legeslatif sebagai kekuatan oposisi besar seperti yang sekarang dihadapi oleh Jokowi –JK. Hal tersebut pasti menambah kebingungan karna rakyat akan dibuat pusing dengan pertanyaan “siapa lembaga tertinggi di Indonesia ini?”
Namun, Aristoteles memberi sebuah solusi dengan sistem pemerintahan bernama Aristokrasi. Sistem ini mengajarkan bahwa suatu Negara harus dipimpin oleh seorang filosof  (orang yang benar-benar bijak) yang dipilih oleh lembaga yang berwenang yang nantinya menjadi pejabat tertinggi di Negara tersebut.
Kondisi ini sangat mirip dengan isitem kepengurusan Darut Ta’lim dimana seorang ketua dipilih oleh pengasuh sebab Ia diyakini memiliki kredibilitas yang tinggi. Begitu juga dengan kesamaan bahwa tidak ada dewan legeslatif yang bertugas membuat UU sendiri dan tidak pula dewan yudikatif yang bertindak sebagai hakim. Baik kebijaksanaan, Undang-Undang dan peradian dijalankan oleh satu kepengurusan. Sistem semacam ini –menurut penulis- sudah sangat pas jika diterapkan di Darut Ta’lim yang tentunya dalam mengambil kebijakan, seorang ketua harus betul-betul mengerti seluk-beluk permasalahan yang terjadi di pesantren seperti seorang Aristokrat yang ditawarkan olh Aristoteles.
Dengan demikian, segenap pengurus Darut Ta’lim haruslah bangga karena sistem yang mereka jalani sekarang mirip dengan konsep Aristokrasi yang sangat digemari oleh filosof terbesar sepanjang masa, Aristoteles.



Iga Kurniawan

0 komentar:

Posting Komentar