Pesantren
Darut Ta’lim adalah salah satu pesantren yang mengadopsi ideology salaf untuk
dijadikan sebagai landasan beramal dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari para
santrinya. Terlepas dari kenyataan yang saat ini ada, ideology salafi masih
diharapkan mampu menjadi solusi moral para santri di tengah-tengah pergolakan
teknologi dan globalisasi yang sering kali mereduksi nilai-nilai keluhuran adat
ketimuran (yang katanya) masih dianut oleh Bangsa Indonesia.
Di
samping ideology salaf yang menjadi landasan beramal, dalam menjalankan
kepengurusan, Darut Ta’lim dipimpin oleh seorang ketua yang membawahi beberapa
departemen. Departemen-departemen tersebut mengurusi bidang mereka
masing-masing seperti departemen kebersihan, departemen kesehatan, departemen
pendidikan dan departemen keamanan. Dalam Hukum Tata Negara model seperti itu
disebut lembaga eksekutif.
Di
Darut Ta’lim sendiri tidak mengenal yang namanya legislative bahkan yudikatif
seperti halnya system trias politika ajaran montesque yang dianut oleh beberapa
Negara termasuk Indonesia. Ajaran trias politica membagi kekuasaan menjadi tiga
lembaga seperti di atas. Eksekutif –atau yang sering disebut pemerintah (dalam
arti sempit)- adalah lembaga yang berhak mengambil kebijakan yang tentunya tidak bertentangan dengan
Undang-Undang. Legislative, yang diisi oleh MPR dan DPR, bertugas merancang
Undang-Undang untuk kemudian mengesahkannya. Dan kemudian Yudikatif yang bergerak
dalam ranah peradilan tertinggi yang dapat mengadili setiap kasus yang tidak
mampu diputuskan oleh pengadilan di
tingkat bawah.
Dibaginya
kekuasaan menjadi tiga lembaga tersebut dimaksudkan agar menjamin demokrasi dan
membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak sewenang-wenang dalam menjalankan
pemerintahannya.
Sementara
itu, di Darut Ta’lim hanya menggunakan system kekuasaan tunggal, yakni
eksekutif. Prakteknya adalah setiap kebijakan yang ada –selain dari pengasuh
sebagai tokoh sentral- misalnya “pukul 21.00 setiap santri diwajibkan ngaji
al-Quran kepada penyemak yang sudah ditentukan” atau “setiap jumat pagi setelah
mudarosah setiap santri wajib mengikuti kegiatan ziarah kubur bersama”, diputuskan
dan ditetapkan oleh eksekutif. Begitu juga dengan adanya legislasi
(undang-undang) yang biasanya dirumuskan pada awal tahun. Substansi aturan
seperti “satiap santri yang mencuri maka harus digundul” atau “santri yang
pulang tanpa ijin harus membayar denda sebesar Rp.1000,-“ juga dirumuskan oleh
pengusur yang sama, yakni eksekutif pmpinan ketua pengurus. Begitu juga dalam
menjalankan peradilan. Pengurus pula yang mengadili dan menjalankan proses
persidangan yang dalam Tata Negara, tugas semacam ini dipegang oleh Yudikatif.
Namun,
bukan berarti trias politica ini tanpa kelemahan. Pembagian kekuasaan semacam
ini sering menimbulkan kebingungan tentang “sebenarnya siapa di Negara ini yang berkuasa?”. Sering terjadi
tarik menarik antara pemerintah dan DPR. Mereka saling mengklaim bahwa mereka
memiliki hak dalam urusan membuat aturan. Sehingga sering pula terjadi
pergesekan bahkan benturan kebijakan dari kedua lembaga ini. Dalam kondisi
semacam itu mungkin perlu satu solusi agar benturan aturan tidak terjadi lagi.
Demokrasi dan
aristokrasi ala aristoteles
Demokrasi
–yang selama ini dianut beberapa Negara- telah banyak dieluh-eluhkan karena
dianggap ia lah sistem pemerintahan yang terbaik. Dengan menggunakan
prinsip-prinsip seperti keterbukaan, transparan, musyawarah mufakat dan
sebagainya, demokrasi dinilai dapat mewakili suara rakyat sebab, menurut
Abraham Lincoln, Democrasi is the government of the people, by the people
and for the people. Dengan demikian yang menjadi pemegang dan penentu
kebijakan adalah setiap lapisan masyarakat baik dari kalangan atas, menengah sampai
pada yang paing bawah. Pemerintah –terlebih dalam arti luas- hanya menjadi
wakil dan pelaksana kehendak rakyat, bukan penentu kebijakan.
Akan
tetapi kondisi seperti itu dibaca oleh Aristoteles sebagai suatu sistem yang
fatal. Hingga Ia menganggap Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling
buruk. Mengapa demikian? Sebab rakyat tidak semuanya cerdas, tidak semua
mempunyai tujuan yang sama apalagi jika sudah berbenturan dengan kepentingan
masing-masing, sulit sekali, bahkan dapat dikatakan mustahil keinginan mereka
dapat disatukan. Para pengusaha besar pasti ingin membangun mall-mall yang
megah sementara rakyat miskin juga menginginkan tempat tinggal mereka tidak
digusur. Begitu juga dengan orang-orang berkepentingan yang lain. Apalagi
ketika lembaga eksekutif harus menghadapi legeslatif sebagai kekuatan oposisi
besar seperti yang sekarang dihadapi oleh Jokowi –JK. Hal tersebut pasti
menambah kebingungan karna rakyat akan dibuat pusing dengan pertanyaan “siapa lembaga
tertinggi di Indonesia ini?”
Namun,
Aristoteles memberi sebuah solusi dengan sistem pemerintahan bernama
Aristokrasi. Sistem ini mengajarkan bahwa suatu Negara harus dipimpin oleh
seorang filosof (orang yang benar-benar
bijak) yang dipilih oleh lembaga yang berwenang yang nantinya menjadi pejabat
tertinggi di Negara tersebut.
Kondisi
ini sangat mirip dengan isitem kepengurusan Darut Ta’lim dimana seorang ketua
dipilih oleh pengasuh sebab Ia diyakini memiliki kredibilitas yang tinggi.
Begitu juga dengan kesamaan bahwa tidak ada dewan legeslatif yang bertugas
membuat UU sendiri dan tidak pula dewan yudikatif yang bertindak sebagai hakim.
Baik kebijaksanaan, Undang-Undang dan peradian dijalankan oleh satu
kepengurusan. Sistem semacam ini –menurut penulis- sudah sangat pas jika
diterapkan di Darut Ta’lim yang tentunya dalam mengambil kebijakan, seorang
ketua harus betul-betul mengerti seluk-beluk permasalahan yang terjadi di
pesantren seperti seorang Aristokrat yang ditawarkan olh Aristoteles.
Dengan
demikian, segenap pengurus Darut Ta’lim haruslah bangga karena sistem yang
mereka jalani sekarang mirip dengan konsep Aristokrasi yang sangat digemari
oleh filosof terbesar sepanjang masa, Aristoteles.
Iga Kurniawan
0 komentar:
Posting Komentar